“LIKA-LIKU DOSEN”
|
Muridku Gagah Seperti Akabri (Foto saat wisuda) | |
Cerita Satu.
Baru beberapa tahun yang lalu
kami membantu mengambilkan SK penyesuaian Pak Arya ke BAKN (sekarang BKN) ,
suami adik sepupuku yang jadi Guru SMP di kampung. Saat pulang kampung kemaren
kami ketemu, sempat ngobrol di pojokan sebuah acara adat, sambil menunggu acara
dimulai kamipun berbincang.
Aku : Dik Arya, sekarang masih ngajar di SMP?
Arya : Masih Bli, tapi
sekarang ngajarnya di SMA, kebetulan SMA membutuhkan guru bidang studi yang
saya kuasai,
Aku : Wah tinggi dong pangkat kamu sekarang yo ?
Arya : Yah sudah Golongan IV b Bli, tapi pohonya tinggi buahnya
jarang.
Aku : Apa maksudanya pohonnya tinggi buahnya jarang, seperti lagu
Ondel-Ondel saja.
Dan kamipun tertawa berderai
bersama. Dia menjelaskan bahwa pohonnya tinggi buahnya jarang, maksudnya guru
kan pangkatnya tinggi gajinya kurang. Beda dengan PNS yang lain. Itu katanya menjelaskan kepada kami yang
ada disekitarnya.
Terus aku katakan tidak boleh
menakar penghasilan orang lain, siapa tahu dia malah lebih susah dari kita.
Nikmati saja apa yang menjadi milik kita sebagai penghasilan yang kita peroleh
dari melaksanakan tugas dengan baik. Masalah besaran gaji sudah ada yang
menghitung.
Disini dapat kita lihat bahwa
betapa cepatnya kenaikan pangkat seorang pendidik sampai ke tingkat pangkat
tertentu. Hal itu juga tidak mereka syukuri tetapi masih mengeluh dengan
masalah gaji. Apa iyasih gaji guru demikian?. Kayanya peraturannya tidak jauh
berbeda dengan pegawai negeri sipil lainnya.
Cerita Dua.
Dua tahun terakhir ini, aku menjadi
tenaga fungsional dosen, menghilang dari manajemen praktis organisasi yang
telah kami geluti sejak tahu 1987, sejak pertama kali aku terjun ke jabatan struktural.
Di kampus teman-teman dosenku ramai bercerita tentang: sertifikasi dosen, uang
tunjangan sertifikasi. Walau sebagian besar mereka dibayar bukan karena
kinerjanya lebih banyak hanya karena kehadirannya. Bagaimana bisa seorang dosen
telah bersertifikasi tidak punya tugas atau kewajiban mengajar di kelas tiap
bulan menerima tunjangan sertifikasi, dan menerima tunjangan kinerja, hanya
karena rajin absen. Bahkan kulirik absennya datang pk 05 15 pulang diatas pk 16
00, tapi jarang kulihat di ruang dosen. Tunjangan lancar.......... mau dibawa
kemana pendidikan kita kalau begini.
Karena menjadi dosen aku
mempunyai waktu agak longgar karena kewajibanku mengajar 12 sks aku selesaikan
dalam dua hari, kebetulan mata kuliahnya sama yang merupakan mata kuliah yang
telah sering aku ampu sejak 1980 an. Aku mempunyai waktu agak lowong. Dalam
satu kesempatan aku bertemu adikku Made yang sudah cukup lama menjadi dosen di
UNJ dulu IKIP Jakarta. Karena aku awam dengan sertifikasi kutanya kepadanya.
Apakah ia sudah sertifikasi?. Hehehe ternyata jawabnya.. bahwa ia sudah ikut
sertifikasi kloter pertama. Jadi sudah cukup lama menerima tunjangan
sertifikasi.
Pantesan kamu tenang saja de,
sudah terima sertifikasi tho... kataku. Lumayanlah jawabnya. Dari cerita ini
terlihat bahwa tunjangan sertifikasi yang diterima para pendidik –baca dosen
dan guru- sangat membantu keseharian dan kebutuhan guru sehingga dia dapat
melaksanakan tugas dengan baik. Disini memang sangat tergantung pada
pribadinya, apakah memang dia mempunyai jiwa pendidik atau cuman mencari
pekerjaan.
Mungkin tidak semua yang mau
mencari kerja atau PNS dapat menjadi dosen. Dalam rekruitmennya mungkin sangat
diperlukan test atau uji psikologis yang tepat untuk mencari pendidik yang pas.
Karena banyak instansi menugaskan semua pegawai yang berpendidikan S3 untuk
menjadi dosen. Apa semuanya memang berbakat...... dan mampu mentransfer ilmunya
kepada anak didik?
Cerita Tiga.
Aku pergi kekota untuk mencari
kaset lagu-lagu daerah kesenanganku, ke toko langganan selama ini. Disana aku
ketemu seorang teman saat SMA sekelas lagi umurnya lebih tua sedikit dariku, sama sama mencari kaset, kucolek
dia dia menoleh, Eh gung –panggilan orang yang lebih tua kepada yang lebih muda
di Bali- dia menyapa, nyari apa?. Kujawab saya nyari kaset lagu yang baru. Aku takut
lupa dengan Bahasa Bali jawabku. Lagu kugunakan untuk lebih mengasah dan
mengingat bahasa Bali.
Dalam perbincangan itu temanku
menceritakan dirinya baru saja pulang dari Luar Negeri meneruskan
pascasarjananya. Kudengar dari muridku yang melanjutkan di tempat dia menjadi
doden memang temanku ini seorang dosen ‘killer’ didak bisa kompromi, dan sangat
kaku dalam berdikusi. Tiba tiba dia menyampaikan kepadaku...... Kamu golongan
berapa sekarang, aku sudah golongan IIIC katanya. Wah aku mikir kalau kujawab
dengan jujur kutakut temanku merasa minder, kalau kujawab bohong kok bukan
sifatku. Aku menjawbanya dengan jujur. Kukatakan bahwa aku masih bekerja di
tempat yang dulu, aku selama hampir sepuluh tahuan ini ditugaskan di Papua. Aku
baru golongan IV b -saat ku berjumpa dengannya-.
Kaset yang kucari diberikan oleh
penjaga toko, terus aku menoleh temanku. Lho kok sudah nggak ada, dia pergi
tanpa pamit rupanya. Benar firasatku dia tidak suka kalau teman juniornya
pangkatnya lebih tinggi, Wah......................... ternyata.
Disini dapat aku petik bahwa
pendidikan, pangkat itu masih merupakan kebanggaan, bukan kompetensinya yang
dilihat. Temanku mungkin meras minder pangkatnya denganku..... padahal tugas di
Papua seperti aku saat itu tidak semua orang mau.
Catatan Empat.
Jumat pagi aku membaca koran
Kompas langgananku walau ngecer belinya. Disana aku baca sebuah tulisan yang
mengatakan bahwa jabatan Rektor –( tulisan yang terkait dengan mantan rektor
Undip Semarang) itu adalah jabatan untuk
menakut nakuti, katanya.... Itu dikaitkan dengan banyak larangan yang ditulis
disekitar rektorat yang ditulis atau dipajang atas nama rektor, padahal menurut
rekornya beliaupun nggak tahu tentang ide penulisan itu.
Dikatakan juga oleh mantan rektor
Undip itu bahwa rektor itu orang kesepian. Itu beliau katakan terkait dengan
kesendirian beliah saat bersepeda dari kediaman ke kampus. Padahal menurut
pegawai pemda yang beliau jumpai saat bersepeda dan sempat berbincang, kalau
bupati, walikota, ataupun gubernur maupun muspida lainnya, kalau bersepeda
pasti diikuti olhe banyak orang, dibelakangnya..... Akh kasihan memang Pak Rektor
kesepian.
Jadi kalau disini terlihat bahwa
kata rektor –baca jabatan rektor- sering digunakan untuk menakut nakuti orang
yang kegiatannya mengganggu; jabatan rektor, menjadikan rektornya kesepian
tidak seperti jabatan di pemerintahan lainnya. Rektor juga manusia........ bisa
kesepian, dan geli jabatannya digunakan untuk menakuti orang... hehehe baca
wong cilik.
==
Berbagai keluhan seperti diurai
sebelumnya menunjukan bahwa seorang pengajar, pendidik, dosen atau guru
ternyata seperti lagu saja dia juga ‘manusia’ kaya dengan keluhan versinya
masing masing, kaya dengan kebahagiaan masing-masing bagaimana dia menyikapinya.
Aku pernah ditanya oleh muridku,
sebuah pertanyaan yang tak kuduga mereka lontarkan sebagai berikut :”Pak Putu,
apa kebahagian yang paling bapak rasakan sebagai seorang dosen?”
Hahahaha susah aku menjawabnya. Aku
sampaikan kepadanya bahwa aku baru beberapa bulan belakangan ini resmi menjadi
dosen resmi, tetapi sebagai dosen luar biasa sejak aku tamat Akademi tahun
1978, ternyata untuk menjawabnya aku minta merenung sebentar sambil melanjutkan
pelajaran dulu.
Saat jeda dan mereka merangkum
dan mencatat apa yang telah aku uraikan dan jelaskan saat itu, lalu aku minta
mereka berhenti sejenak menulis, ku katakan ke mereka di kelas, jawaban dari
pertanyaan muridku, katanya dia anak pasangan suami istri yang keduanya sebagai
guru di kampung.
Jawabanku :”Kebahagiaanku sebagai
guru atau dosen adalah ketika melihat muridku yang tidak bisa menjadi bisa,
atau –maaf kutakakan kemereka- atau melihat muridku yang awalnya ‘bodoh’
menjadi pandai”.
Aku tak tahu apa mereka setuju
apa tidak, tapi kulihat mereka manggut manggut. Beberapa bulan setelah itu,
setelah libur semester anak tersebut mendatangiku saat lagi rehat. Seperti
biasa dia ucapkan salam dan menyalamiku, dengan jabat tangan sambil mencium
tangakku. Dia memberikan konfirmasi bahwa apa yang menjadi jawaban ku saat dia
bertanya, merupakan jawaban yang sama ketika dia tanyakan kepada ke dua orang
tuanya. Aku tahu bahwa mereka baru saja kembali dari liburan semester di
kampung.......................
Oh guru sungguh besar
pengabdianmu
Oh guru
penuntun ilmu.......................