Sawah di sekitar Larantuka

Salah satu sudut jalan transflores yang menghubungkan antara Maumere dan Larantuka

Pantai Larantuka

Salah satu pesisir pantai di kota Larantuka

Danau Tiga Warna Kelimutu

Danau tiga warna terdapat di kabupaten Ende, Flores.

Labuan Bajo

Salah satu spot menarik di Labuan Bajo, Manggarai, FLores.

Tari Hegong

Tarian Tradisional dari Maumere, Flores, untuk penyambutan tamu.

Jumat, 31 Januari 2014

Indonesia Experience A Trend of Climate Change

Indonesia Experience A Trend of Climate Change  

Dr I Putu Pudja MM

According to the research of the Geophysics, Climatology, and Meteorology Body (BMKG) Indonesia is experiencing climate change trend. This is signified with the changing of climate parameter such as air temperature and rainfall. Generally, this climate change will cause extreme weather. Such is as comveyed by Dr I Putut Pudja MM, head of the Puslitbang BMKG in the monthly seminar of Scientific Journal Club (2/3).

"It can be seen from the changes in average temperature in January of 0,13 degrees celcius and in July 0,17 degrees celcius per decade. Although this is lower than the increase of global temprature, which reaches 0,19 degrees celcius per decade. It looks like there already is a trend of climate change," he said. Yet, Palu experience a higher increase of 0,34 degrees celcius per decade. Aside from the small islands who experience decreasing temperature in January, such as Bali, Waingapu, and Kupang.

This monthly seminar is held on the theme of "Cooperation of UB and BMKG to increase Research in the field of Metereology, Climatology, and Geophysics. This seminar is the cooperation of BMKG and Center of Land Research and Disaster Mitigation UB, which is headed by Prof Dr Bambang Guritno.

Pudja said that climate change will have effect on the increasing temperature. Just like the tempreature in Jakarta, which tends to rise every  year,Cilacap also experience rising temperature, although not so significant. Aside from the changes in Sea Surface. This will also affect the people who live in coastal area. For the rainfall level, long term projection of 2075 to 2099 shows the climate change in Indonesia will be significant in the end of the century. In the end of the 21st century, precipitation in the rainy season is projected to change significantly, especially on some small area in Sumatra, Celebes, and Papua.

Pudja said that BMKG has perform joint research with The Ohio State University in the middle of 2010 in Jaya Peak. The researcher summarized that snow in Jaya Peak is already in the critical condition, which shows that this area has experienced warming. Yet there is also some area which trend is pretty good. Which makes it possible to discover the remnants of nuclear experiment done by Russia and America in the past.

Until now, Puslitbang BMKG is still doing research to learn about the parameter of climate in Indonesia.  BMKG also haven't determine the model to be used for disaster mitigation. "We are still comparing the models used by other countries. Such models will be adapted according to Indonesian characteristics," he said.[ai]

INTEGRATION OF GEOPHYSICAL PARAMETERS ANALYSIS IN THEEARTHQUAKE PREDICTABILITY

INTEGRATION OF GEOPHYSICAL PARAMETERS ANALYSIS IN THEEARTHQUAKE PREDICTABILITY
Boko Nurdiyanto, Hendri Subakti, I Putu Pudja
Research and Development Center, Indonesia Meteorological Climatological and Geophysical  Agency (BMKG), Indonesia, boko.nurdiyanto@gmail.com

The purpose of this study is to analyze the predictability of earthquakes within ashort-term and mid-term scale in the western part of Java using various parameters, i.eseismicity, magnetic, electromagnetic, surface temperature, and humidity. In this research weuse the USGS and BMKG seismic data catalogue from 1973 to 2010, the earth's surfacemagnetic and electromagnetic field measurements data from magnetometer andmagnetotelluric observation station of BMKG at Pelabuhan Ratu, and the surfacetemperature and humidity data obtained from the Sukabumi AWS station of BMKG islocated in Pelabuhan Ratu. The case study used was large earthquake event with a radius of 300 km from Pelabuhan Ratu observation station that are on September 2nd , 2009 (M7.5),September 13th , 2009 (M6.6), October 16th, 2009 (M6.4), November 18th, 2009 (M5.3), January 10th, 2010 (M5.3), February 20th, 2010 (M5.0), May 18th, 2010 (M6.0) and June 26th,2010 (M6.3). From the seismicity data, seismicity anomalies was found in 2.5 - 3.5 years before earthquakes occur that are classified as mid-term precursor.  Anomalous magneticfield of the magnetometer was found 2-22 days before the earthquake occurs, magnetic fieldsfrom magnetotelluric anomalies was found 2-20 days before earthquakes occur, while theanomalous variation of surface temperature and average daily humidity was found 10 and 17days before earthquakes occur. Anomalous magnetic field, electromagnetic, variations insurface temperature and average daily humidity is classified as a short-term precursor. And periodicity in the Java subduction zone with magnitude M6 based on the depth of the sourceshowed a similar periodicity of dominant earthquake that is about four to five years.

Key words : Predictability, earthquake, precursor, seismicity, magnetic,temperature, humidity.

Catatan : Paper lengkap dipresentasikan pada Kongres : “Natural Cataclysms and Global Problems of the ModernCivilization”. Istanbul, 19-21 September, 2011.


Rabu, 29 Januari 2014

Kultur Hadapi Gempa

“MEMBANGUN KURTUR JAKARTA- MENGHADAPI GEMPA”

Oleh : I Putu Pudja

Sumber Gambar
Seperti di pertanyakan dalam opini Media  Indonesia,Selasa 29 Juli 2008, Siapkah Jakarta Menghadapi Gempa?. Pertanyaan tersebut dapat kita jawab dengan  may be yes,may be no. Mengingat beberapa hal diantaranya karena seudah sangat lama DKI telah memiliki Peratuhan Pendirian Bangunan Tahan Gempa dan masyarakatnya paling mudah mengakses informasi dibandingkan dengan masyarakat lain di Indonesia.

Diakaitkan dengan konsep peringatan dini bencana, maka pembangunan struktur dan pembangunan kultur, merupakan tiang utama sebuah keberhasilan sistem peringatan dini tersebut. Dikaitkan dengan Jakarta, dengan  bangunan pencakar langit dan penduduk yang sangat meningkat pada jam kerja, kesiapan struktur rupanya mempunyai level yang lebih tinggi di abndingkan dengan kesiapan kulur, berupakesiapan masyarakat penghuni Jakarta dalam menghadapi ancaman gempa.

Perlu diketahui bahwa data menunjukkan bahwa kerugian akibat gempabumi tidak hanya tergantung pada kuatnya gempa itu sendiri, namun akan lebih ditentukan oleh kepadatan penduduk, kepadatan bangunan di daerah tersebut. Bandingkan kekuatan gempa Aceh  26/12/2004 yang berkekuatan 9.0 SR dengan gempa  Sichuan, China, 12/05/2008, berkekuatan  7,9 SR, perbandingan kerugiuannya Rp.45 T berbanding  Rp. 194 T ( Pariatmono). Demikian pula akan terlihat jelas bila kita membandingkanm kerugian akibat gempa Aceh dengan kerugian akibat gempa Yogyakarta,27/05/2006, akan terlihat abfka perbandingan yang berbanding “lurus”. Dengan kepadatan penduduk daerah yang terkena goncangan gempa tersebut. Nah belajar dari angka-angka ini maka patutlah Jakarta mewaspadai bencana gempa ini, dengan focus peningkatan pembangunan kultur masyarakatnya dalam menghadapi goncangan gempa, mengingat daerah seperti Jakarta, korbannya akan sangat munkin terjadi akibat kepanikan.

SEJARAH KEGEMPAAN  

Dari historical data gempabumi merusak, terlihat memang daerah Jakarta belum pernah terdapat pusat gempa, akan tetapi terlihat bahwa  Jakarta beberapa kali,mengalami goncangan gempa yang sangat hebat akibat gempa yang terjadi di kawasan Jawa Barat.. Gempa tersebut diantaranya adalah :
  • Gempa, 28 Januari 1833, yang terjadi pk.12 00 00 WIB, yang merupakan gempakuat yang menguncang wilayah Jawa Barat, termasuk Jakarta. Intensitas gempa VII – VIII Skala  MMI,menyebabkan kerusakan pada tembok-tembok bangunan dan menyebabkan  dan retak-retak.Dalam laporan yang sanagt minim ini dilaporkan tidak terjadi korban jiwa.
  • Gempa, 10 Oktober 1834 yang dikenal dengan gempa  Bogor, dengan ntensitas VII – VIII Skala MMI,getaran dirasakan kuat di Bogor dan sekitarnya, mengakibatkan kerusakan pada beberapa bangunan dan runah penduduk.
  • Gempa Bogor, 20 Desember 1852, dengan intensitas VIII – IX Skala MMI, dan merubuhkan beberapa bangunan.
  • Gempa Karawang 24 Mei 1862,  dengan intensitas goncangan VI Skala MMI,dan mengakibatkan kerusakan pada tembokpenduduk.
  • Gempa Sukabumi, 14 Januari 1900,gempa dengan intensitas goncangan mecapai VII. Goncangannya dirasakan di daerah Periangan, Banten, Bogor, dengan kerusakan paling parah di Sukabumi.
  • Gempa Labuan,16 Desember 1963, pk. 09 45 35 WIB, dengan pusat gempa pada posisi 6,25 LS – 105,4 BT dengan magnitudo 5,0 SR,intensitas mencapai V Skala MMI. Kerusakan terparah terjadi di Labuan dan sekitarnya.Goncangan gempa ini di Jakarta membuat panik. Getaran gempa ini dirasakan sampai Tasikmalaya.
  • Dan beberapa gempa lainnya, yang berpusat di selatan Banten, Sukabumi,dan Laut Jawa.
Data tersebut menunjukkan bahwa Jakarta mendapat ancaman gempa dari : arah barat daya, yaitu gempa-gempa yang terjadi di selatan Banten – Selat Sunda selatan; arah tenggara gempa gempa yang berpusat sekitar Pelabuhan Ratu, Sukabumi hingga Bogor dan dari arah timur laut, berupa ancaman goncangan gempa menengah – dalam yang terjadi di Laut Jawa. Beberapa penelitian geologi maupun geopotensialbumi ( Oriza  Sativa, 2008 ) menunjukkan bahwa di Jakarta juga terdapat graben dan patahan –walau di kedalaman- yang suatu saat dapat terpicu menjadi sumber gempa.

Dampak yang paling berat akibat gempa yang mengoncang Jakarta, hanya sampai pada keretakan pada tembok bangunan, serta dirasakannya goncangan pada bangunan. Laporan dirasakannya goncangan gempa pada bangunan yang semakin tinggi, belakangan semakin kerap dilaporkan masyarakat Jakarta ke BMKG. Ini menunjukkan bahwa ada ketakutan dan ke khawatiran masyarakat saat merasakan goncangan gempa di Jakarta. 

Inipula berati bahwa kultur masyarakat dalam menghadapi bencana khususnya bencana gempa belum terbangun dengan baik, terlihat dari kepanikan masyarakat,yang justru sangat mungkin akan menyebabkan jatuhnya korban.

MEMBANGUN KULTUR

Guna menekan lebih rendah tingkat kepanikan masyarakat Jakarta, terutama yang berada di bangunan pencakar langit, maupun bangunan publik lainnya,menjadi tugas kita bersama dalam membangun kultur masyarakat dalam menghadapi gempa. Dapat berupa semacam ’erthquake drill’ dengan pelatihan pengungsian bagi penghuni gedung bertingkat dalam menyelamatkan diri sata terjadi gempa, memperkenalkan tangga darurat, memperkenalkan tempat tempat yang paling aman dalam gedung saat menerima goncangan. Memberikan ceramah penyelamatan diri kepada masyarakat terkait bencana gempa oleh pengelola gedung bekerja sama dengan instansi terkait seperti LIPI, BNPB, BMKG, Pemda DKI dll..Dalam paket pelatihan maupun ceramah ini akan dijelaskan potensi ancaman gempa,sejarah kegempaan, apa yang harus diperbuat sebelum, saat,maupun setalah gempa untuk masyarakat penghuni gedung, maupun masyarakat pantai bila daerahnya berpotensi diterjang tsunami. 

Itu memerlukan pengasahan yang telaten, sehingga masyarakat Jakarta menjadi siaga bencana, khususnya bencana gempa, baiksaat sedang berada di kantor mapun saat mereka sedang berekreasi ke daerah yang rawan gempamaupun berpotensi tsunami,mengingat masyarakat Jakarta merupakan masyarakat yang suka berekreasi.

Disamping membangun kultur masyarakat dalam menghadapi bencana gempa, tugas berat juga disandang Pemda DKI, untuk mengawasi bangunan yang ada apakah sudah dibangun dengan struktur bangunan tahan gempa, sesuai dengan peraturan yang berlaku. law inforcement perlu ditegakkan guna melindungi masyarakat. 
Dengan upaya tersebut, maka Jakarta sebagai barometer keamanan dan kesiapan dalam menghadapi bencana gempa, Jakarta akan menjadi kota yang  membangun kultur masyarakat dan strukur  bangunannnya dalam mengantisiasi bencana gempa yang mungkin mengancam daerahnya, sebagai komponen yang akan menyukseskan sistem peringatan dini tsunami Indonesia atau dikenal sebagai Ina TEWS ( Indonesia Tsunami Warning System ), yang juga dibangun berdasarkan konsep pembangunan struktur dan kultur, walau pengertian struktur dan kultur disini mempunyai makna yang berbeda. Dalam Ina TEWS yang di maksud  pembangunan struktur adalah membangun infrastruktur sistem peringatan dini tersebut berupa sistim monitoring ( gempa, percepatan tanah, pasang surut,tekanan air laut ), sistem komunikasi data dan diseminasi informasi maupun sistim prosesing, sistim penyuport kebijakan dll sebagainya.

Upaya tersebut juga akan meningkatkan ketenangan dan menekan kepanikan  masyarakat menghadapi setiap goncangan gempa yang sewaktu waktu dapat terjadi dari gempa yang terjadi pasa sumber-sumber gempa yang berpotensi menggoncang Jakarta, yaitu daerah sumber gempa Selat Sunda Selatan – Selatan Banten, Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan Bogor, serta sumber gempa di Laut Jawa.

Penulis : Aktif di BMKG

Banjir Manado

“BANJIR MANADO : DEPRESI TROPIS PICU HUJAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI”

Oleh : I Putu Pudja

Manado Banjir Lagi, Rumah Warga Dipenuhi Lumpur
Bencana banjir masih saja menghiasi berita media masa sampai penghujung Januari 2014 ini, secara sporadic kita ikuti berita banjir di tanah air: banjir Jakarta belum surut tuntas, banjir pantura, banjir Bali utara, banjir di Sulut –dua kali- , banjir di Madura, dan daerah lainnya yang hampir tiap hari ada saja banjir yang dilaporkan terjadi. Banjir tahun ini terasakan sangat meningkat kejadiannya, maupun meningkat intensitas serta korban yang diakibatkannya.
Polemik penyebab banjir ini banyak bermunculan, beberapa pendapat mengatakan bahwa banjir karena : anomaly cuaca, kerusakan lingkungan, perilaku masyarakat, jeleknya infrastruktur pengairan, menyusutnya situ dan lain sebagainya. Semua itu merupakan hanyalah tinjauan masing-masing pengamat secara parsial.
Tulisan ini ingin mengajak penulis melihat penyebab banjir yang terjadi di Sulawesi Utara, khusus untuk banjir di Manado tanggal 15 januari 2014. Banjir ini dilapurkan mengakibatkan 18 orang korban meninggal dan kerugian material ditaksir lebih dari Rp. 1,871 triliun seperti dipaparkan Gubernur Sulawesi Utara setelah banjir Manado. Tulisan ini memcoba melihat bencana banjir ini dari intensitas curah hujan yang tercatat di lapangan oleh rekan-rekan pengamat meteorology dan geofisika yang bertugas di daerah tersebut.
Daerah Manado tercatat sudah empat kali mengalami banjir bandang yaitu : 3 Desember 200, 21 Pebruari 2006, 17 Pebruari 2013 dan 15 Januari 2014.

Sabtu, 18 Januari 2014

Hujan Lebat Guyur Jawa dan Nusa Tenggara, Mengapa?

Hujan Lebat Guyur Jawa dan Nusa Tenggara, Mengapa?
I Putu Pudja* | Jumat, 17 Januari 2014 - 11:50 WIB
: 135


(dok/antara)
Ilustrasi.
Skenario musim di Indonesia telah lama dibuatkan model, terkait perubahan iklim ini.

Jakarta hampir lumpuh akibat dilanda banjir karena hujan deras berkepanjangan. Sejak Minggu(12/1), banjir sudah mulai menggenangi beberapa daerah ibu kota. Sepekan sebelumnya, daerah aliran sungai (DAS) Bengawan Solo juga diberitakan banjir.
 
Dalam minggu yang sama, beberapa penerbangan ke Bandara Juanda, Surabaya, sempat dialihkan ke Bandara Ngurah Rai, Bali. Itu karena hujan deras turun di Surabaya dan sekitarnya sehingga Bandara Juanda tidak memenuhi persyaratan teknis pendaratan.
Pada periode yang sama dilaporkan Jawa belahan selatan dilanda hujan deras yang berkepanjangan. Ini menyebabkan beberapa sungai meluap dan mengakibatkan banjir di sekitar Prembun, Kebumen dan Bandung. Hujan itu juga menimbulkan longsor di beberapa daerah, seperti Sukabumi, Garut, dan wilayah sepanjang Purwokerto-Kebumen.
Terhadap semua kejadian itu timbul pertanyaan, mengapa Jakarta, begitu juga Jawa, mengalami curah hujan yang begitu tinggi sehingga menyebabkan banjir yang melumpuhkan ibu kota? Pertanyaan itu dapat diperluas, mengapa Jawa dan sekitarnya pada musim hujan ini dilanda hujan deras berkepanjangan?
Perubahan Iklim
Salah satu gejala perubahan iklim yang diskenariokan para pakar adalah berubahnya pola hujan di suatu daerah. Perubahannya bisa di intensitasnya, bisa juga lama hujannya. Skenario musim di Indonesia telah lama dibuatkan model, terkait perubahan iklim ini.
Di antaranya banyak daerah yang curah hujannya akan meningkat dengan penyempitan lama musim hujan. Ada juga beberapa daerah yang mengalami penurunan curah hujan, namun bertambah hari hujannya.
Jika kita perhatikan, fenomena perubahan yang terjadi belakangan ini kelihatannya sangat signifikan terjadi secara global. Kita ikuti badai salju yang menimpa Amerika Serikat (AS) pada musim dingin ini sangat hebat, dengan suhu yang sangat rendah jauh, melampaui suhu udara normal musim dingin.
Salju turun tidak biasa di beberapa daerah yang sudah cukup lama tidak mengalami hujan salju, seperti China, Mesir, Israel, Palestina,m dan beberapa wilayah Timur Tengah. Itu semua terjadi di belahan Bumi utara.
Di belahan Bumi selatan terjadi fenomena sebaliknya. Australia mengalami tekanan udara rendah dengan suhu yang cukup tinggi di atas rata-rata musim panasnya. Akan tetapi, kita juga ikuti kapal ekspedisi Rusia terkurung es tebal dan terperangkap di Kutub Selatan. Kapal itu mendapat bantuan beberapa kapal pemecah es, baru dapat melanjutkan perjalanannya.
Perubahan global maupun regional ini rupanya melahirkan fenomena yang memperburuk musim hujan di Indonesia. Fenomena tersebut berupa seruakan dingin Asia (Asia Cool Surge), momen dipole negatif; dan timbulnya mata siklon di perairan selatan Indonesia bagian tengah, seperti yang terjadi di perairan selatan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Angin Barat
Fenomena seruakan dingin Asia merupakan angin dingin yang datang dari utara, tepatnya dari utara ke timur laut melintasi Laut Jepang dan Laut China Selatan menuju khatulistiwa.
Setalah melintas khatulistiwa, angin akan berbelok ke tenggara karena dampak gaya Boys Ballot. Angin ini membawa udara yang relatif dingin dan mendorong lebih kuat angin barat pada musim hujan ini, yang kaya uap air, melintasi Laut China Selatan.
Fenomena kedua merupakan pergerakan angin yang relatif dingin dari Afrika melintasi Samudera Hindia, kemudian menuju perairan barat Sumatera sepanjang khatulistiwa.
Massa air di atas Samudera Hindia kaya akan uap air sehingga sesampainya di atas Sumatera, angin ini semakin kuat, membuat resultante saling memperkuat bergerak ke arah timur-tenggara sepanjang sisi selatan khatulistiwa. Jadi, massa air ini terdorong cepat dan kuat ke arah timur, membentuk awan di atas Sumatera bagian selatan sampai atas Jawa.
Ditinjau dari pengondensasian, massa udara dingin dari kedua fenomena (seruakan dingin Asia dan momen dipole negatif ) akan mempercepat proses awan menjadi hujan. Proses yang super cepat menyebabkan dingin sampai terkadang hujan es, seperti yang terjadi di Bogor, Cileungsi, dan Bandung.
Tumbuhnya mata-mata siklon tropis di perairan selatan NTB karena angin menarik udara yang kaya uap air itu semakin ke timur. Itu menjadikan angin barat yang sudah kuat ini menjadi semakin kuat sehingga hujan yang deras berkepanjangan juga melanda Bali dan NTB.
Mengingat fenomena-fenomena cuaca tersebut masih berlangsung, hujan deras yang melanda daerah Jakarta (baca: Jawa, Bali dan NTB) diperkirakan juga terus berlangsung. Itu sejalan dengan musim hujan 2014 yang menuju puncaknya.
Untuk itu, memang sudah sewajarnya masyarakat yang bermukim di daerah langganan banjir perlu waspada yang berkepanjangan untuk musim hujan kali ini. Ini mengingat waktu yang lama dan proses kondensasi yang dipercepat. Hujan yang turun diperkirakan tetap lebih lebat dan lama dari biasanya.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa hujan deras berkepanjangan yang berdampak banjir di Jakarta dan beberapa tempat lainnya di Jawa akibat kolaborasi antara angin barat musim hujan yang kaya uap air. Itu “diperburuk” kemunculan seruakan dingin asia, momen dipole negatif, dan munculnya daerah tekanan rendah berupa mata siklon di perairan selatan NTB.
*Penulis aktif di BMKG, dosen pada Akademi Meteorologi dan Geofisika.
Sumber : Sinar Harapan