“MENGGUKAN FAKTOR
HISTORIKAL DATA DAN KARAKTERISTIK SESAR DALAM PREDIKSI TSUNAMI”
I Putu Pudja
Pola Tektonik Laut Maluku |
Pagi tanggal 15 Nopember 2014 saat penulis
sedang berdiskusi dengan keluarga, sebuah sms peringatan dini tsunami masuk “Peringatan
dini tsunami di Malut, Sulut, Gorontalo, Maluku , Papua Barat akibat Gempa
Magnitudo 7,3 Skala Richter , 09 31 40 WIB, berlokasi di posisi 1,97 LU – 126,50
BT kedalaman 10 km” dirilis BMKG. Beberapa kali peringatan tsunami ini di
muthakirkan sampai dihentikandinyatakannya peringatan dini ini. Diantaranya
dilaporkan memang tsunami terjadi, dirilis dengan ketingian 9 cm di Jailolo,
Tobelo 1 cm, dan di Manado 3 cm,
Lalu timbul pertanyaan dari orang awam, diantaranya
(1) Apakah angka itu hanya suatu pembenaran saja terhadap peringatan yang telah
diberikan. (2) Memang lebih baik ada peringatan dibandingkan dengan korban yang
mungkin terjadi.(3) Itulah kehebatan alat digital yang mampu mendeteksi
gelombang tsunami yang hanya mempunyai amplitudo antara 1 – 9 cm. Tidak sampai
10 cm,
Pendapat pertama muncul dari para aktivis
yang langsung bersentuhan dengan masyarakat kita dilapangan yang melihat
bagaimana paniknya masyarakat yang mendengar peringatan tersebut, di daerah berpotensi
bencana tsunami, Pendapat kedua diungkapkan orang yang pernah merasakan betapa
dahsyatnya tsunami dan besarnya korban yang ditimbulkannya. Pendapat ke tiga
diberikan oleh para teknokrat dan pakar yang sudah berfikiran digital. Hahahaha.
Semuanya tidak mau kalah dan mau benar sendiri.
Menurut hemat penulis, ketidak samaan
persepsi itu terjadi sama dengan ketidak samaan persepsi diantara pakar sendiri
tentang persyaratan gempabumi yang dapat membangkitkan tsunami. Yang jelas
mereka pasti berpedoman bahwa:
(1)
gempabumi terjadi di dasar laut. Pendapat ini diakui oleh para pakar dengan
aklamasi. Manun beberapa gempa di daratan dekat pantai ternyata juga
membangkitkan tsunami. Ingat gempabumi Manokwari.
(2)
Kedalaman pusat gempabumi dangkal. Inipun disepakati bersama
oleh para pakar. Akan tetapi banyak yang membuat kisaran yang sesuka hatinya
untuk gempa dangkal. Terakhir BMKG menyatakan gempa dangkal 0 – 100 km, Dulunya
kita menaggap gempa dangkal itu 0 – 65 km.
(3)
Kekuatan gempabumi sama dengan atau lebih dari 6,4 SR. Nah
ini juga digeser mengingat sebagian prediksi tsunami meleset sehingga magnitudo
dinaikkan menjadi 7,0 Skala Richter. Memang sangat kompromis.
(4)
Mekanisme pusat gempabumi adalah mekanisme sesar normal, atau
sesar naik. Yang dikaitkan dengan sistem gaya kompresi dan tensil pada pusat
gempabumi. Nah yang terakhir ini disepakati dengan akhlamasi oleh para penggiat
warning tsunami.
(5)
Menurut penulis yang paling penting sebenarnya adalah
historikal data yang menunjukkan bahwa daerah tersebut memang sudah pernah
terjadi tsunami, atau memang habitat gempa dengan sesar normal atau sesar nail.
Semuanya akan ditunjukkan oleh historikal data seismik setempat, apakah daerah
itu tsunamigebic apa tidak?.
Persayaratan terakhir karena singkatnya
golden time yang dimiliki oleh para operator di sentra Tsunami Senter
menyebabkan mereka tidak sempat melihat historikal data ini. Mereka seharusnya
memiliki waktu khusus untuk di ugrading ingatannya dengan pelatihan sehingga
akan hafal atau mengetahui dengan baik karakteristik kegempaan wilayahnya.
Pengatahuan ini akan diketahui apabila
diantara petugas yang mendalami historikal data, karakteristik kegempaan
masing-masing daerah habitat tsunami, atau tsunami genik di Indonesia.
Persyaratan yang disebutkan diatas akan menjadi situasional pertimbangannya
sebelum dirilis, disamping telah memiliki persyarakan teknis yang sudah
diinstalasi pada mesin otomatis. Jadi nilai ‘art’ yang bersifat humanis dari
sebuah prddiksi tsunami masih diperlukan dalam peringatan dini tsunami.
Sebagai contoh persyaratan tsunami di
wilayah laut sebelah barat Sumatera, daerah Selatan Jawa, daerah Nusa Tenggara,
daerah Sulawesi dan sekitarnya, daerah Maluku, dan Wilayah Irian Jaya pasti
akan memiliki persyaratan khusus disamping persyaratan umum yang disebutkan
diatas. Untuk daerah dimana ‘tsunami’ yang dibicarakan belakangan ini memang
terjadi pada wilayah yang sangat komplek secara tektonik. Yang diperlihatkan
seperti gambar blok dibawah ini.
Gambar : Struktur Laut Maluku ( Dimas Bambang 2014).
Wilayah ini secara tektonik
mendapat tekanan dari barat dan timur, sehingga blok di daerah ini menunjam ke
timur dan kebarat di bawah blok yang menekan. Di dalam blok ini tersimpan
material volkanik yang aktif sehingga disamping ada kompressi antar belok arah
timur barat, juga diduga ada pengangkatan dari material volkanik.
Sebagai dampaknya di daerah
daerah pertemuan blok akan sangat sering terjadi gempabumi. Periksa berita
gempabumi (sms) yang dirilis BMKG sangat banyak gempabumi terjadi di wilayah
ini. Geoncangan gempabumi telah menambah tekanan material volkanik sehingga
memico gunungapi di daerah sekitarnya seperti gunung : Lokon, Karangetang,
Gamalama dan lainnya mempunyai letusan yang bersifat kambuhan.
Beberapa pendapat mengatakan
aktipitas tektonik dan volkanik di daerah ini saling picu (trigger) satu sama
lainnya sehingga gempabumi dan volkanik aktipitasnya saling mengsuik satu sama
lainnya. Sifat ini sama dengan sifat beberapa gunung api yang aktif saat ini :
Merapi, Kelud, Selanet dan Sinabung yang banyak dikaitkan dengan aktipitas
tektonik sekitarnya.
Agar ada titik temu persepsi
maupun tercipta rasa aman pada masyarakat dan meminimialisir dampak negative publikasi
waring atau peringatan dini tsunami, rasanya perlu me redifinisi tentang
kisaran warning, karena warning sangat diperlukan mengingat sifat lupa dari
manusia. Mungkin ada warning potensi, waspada, awas , bahaya misalnya.
Tak
untuk pembelaan diri kita mengatakan tsunami terjadi dengan ketinggian 1 cm,
atau ketinggian 3 cm maupun 9 cm, yang oleh orang awam dianggap main-main.
Disamping
itu sangat perlu untuk mempelajari : (1) histrikal data gempabumi; (2) historical
tsunami; (3) karakteristik mekanisme gempabumi pada setiap daerah yang
tsunamigenik senagai habitat lahirnya tsunami. Pekerjaan seperti ini tidak
p[ernah berhenti, sehingga perbaikan dan pembaruan terus dilakukan, Dan kita
tidak menjadi budak teknologi, tetapi tetap memakai humanistis dan art sebagai kontrolnya sebuah prakiraan, mengingat sifat
alam akan masih melekat selamanya. Dan keterampilan akan mengarahkan petugas
pandai memanfaatkan golden time.
0 comments:
Posting Komentar