Jumat, 04 Agustus 2017

Sekilas Banjir Jayapura, 3 Agustus 2017



FAKTOR  UTAMA DALAM BANJIR DI SEKITAR JAYAPURA

Oleh : I Putu Pudja

Kamis, 3 Agustus 2017 lalu dilanda banjir, dengan konsentrasi banjir di daerah Entrop, daerah Perkantoran Otonom Kotaraja, dan daerah Komplek Perumahan Organda. Mengingatkan penulis akan nyamannya kota Jayapura, dimana penulis pernah bermukim sepanjang periode 1991 – 2000. Ketika itu dapat dikatakan belum pernah mendengar kata banjir, paling ada genangan air liar di jalan raya selama hujan lebat, karena saluran tertutup oleh sampah, atau pohon yang tumbang.
Banjir kali ini menurut informasi dari Kantor BMKG Wilayah V Jayapura, karena adanya hujan lebat yang cukup lama lebih dari 4 jam sekak pl 03 00 pagi, sehingga volume air permukaan menjadi meningkat. Kejadian itu terjadi karena berkembangnya daerah tekanan rendah yang menjadi pumpunan angin kaya uap air di perairan utara Papua. Konsentrasi awan sampai di atas wilayah Jayapura sehingga hujan menjadi lebat dan lama.
Ditinjau dari topografi Jayapura yang bergunung dan berbukit di tepian laut, seharusnya banjir susah terjadi karena aliran air akan segera ke laut. Sehingga pasti ada yang salah dengan pembangunan di daerah itu. Yang menyebabkan air sulit mengalir ke daerah lepas yaitu laut.
Kota Jayapura tidak beda dengan kota kota lainnya di Indonesia. Terlebih setelah terjadi pemekaran wilayah, mudahnya transportasi ke sana menjadikannya sebagai kota urban, untuk mendapatkan pekerjaan baik sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai negeri.
Semuanya itu membawa konskuensi kebutuhan pemukiman, kebutuhan perkantoran, kebutuhan sentra sentra perekonomian, sehingga pusat perkantoran, pusat pertokoan, kawasan pemukiman baru semakin marak berdiri disana.
Bila memperhatikan ketiga daerah banjir di Jayapura semuanya merupakan daerah pengembangan baru, yang dulunya merupakan daerah aliran air dan daerah terminasi air, sebagai rawa ataupun daerah rendah, yang sebelumnya dihindari oleh masyarakat. Daerah Entrop sebelumnya merupakan daerah rawa, daerah payau bertemunya air tawar dari permukaan dengan air laut Teluk Jayapura; Kawasan Perkantoran Otonom dulunya sebagai rawa dengan hutan sagu sebagai lumbung ‘padi’ nya masharakat setempat, sebagai daerah terminasi air yang mengalir turun dari pegunungan cyclop lereng selatan menuju laut, dan Perumahan Organda dulunya merupakan daerah rendah sebagai tempa lalu dan terserapnya air permukaan karena daerahnya merupakan sedimen, yang mudah menyerap air dan sebagian merupakan rawa.
Di ketiga lokasi banjir itu telah terjadi pergeseran peruntukan lahan. Serapan, lahan airan menjadi daerah pemukiman, perkantoran maupun sentra perekonomian. Bahkan fungsi sarana aliran air pun dilupakan oleh oengembang, yang menguruk daerah tersebut dalam pengembangannnya. Perubahan ini menyulitkan penyerapan dan pengaliran air ke laut, terlebih setelah ditutupi dengan beton atau jalan aspal.
Dalam kondisi cuaca ektrim, hujan lebat yang berkepanjangan menjadikannya air permukaan yang berlebih sulit mencari pelepasan laut bebas. Jangankan sampai laut bebas, daerah alirannyapun cenderung sudah diuruk ditinggikan, sehinga potensial air dalam alirannya menjadi berhenti di daerah tersebut sebagai cikal bakal banjir.
Satu-satunya jalan untuk mengantisipasi banjir berikutnya mengingat susahnya lahan di Jayapura untu daerah yang rendah, perlu dalam pengembangan drainase juga harus tetap dipikirkan dengan volume tampungan yang tidak berbeda dengan kemampuan aliran sebelum dikembangkan. Dibuatkan jalan air menuju laut.
Karena memang upaya ini sangat mahal, sehingga peran Pemerintah Daerah untuk bersinergi mengembangkan wilayah sangat diperlukan. Hal itu menurut penulis bisa dilakukan oleh pemda Papua, dalam menjaga kelestarian Papua, dan mengindarkan penduduknya dari ancaman banjir.
Bintaro, 5 Agustus 2017

0 comments:

Posting Komentar