Jumat, 23 Maret 2012

MARI MEMANDANG NYEPI DARI SALAH SATU SUDUT PANDANG Oleh : I Putu Pudja

Nyepi sebagai Bentuk Implementasi Tri Hita Karana
Nyepi, bukanlah suatu rutinitas yang datangnya setahun sekali. Nyepi merupakan kontemplasi jiwa, di keheningan menuju pencerahan, menyongsing kasih karunia Ida Sang Hyang Widhi.  Sebagai pelatihan untuk selalu menuju yang esa, Manunggaling Kawula Lan Gusti, sebagai tujuan hidup manusia yang paling luhur.
Nyepi mengandung makna, perbaikan keseimbangan hidup. Menyeimbangkan hubungan yang serasi kepada Ida Sang Hyang Widhi, menyeimbangkan hubungan serasi sesame manusia, serta menyeimbangkan diri dengan alam lingkungan, sebagai perwujudan dan implementasi bahwa Ida Sang Hyang Widi merakhmati se,ua ciptaannya, sehingga kita manusia wajib pula melakukan hal itu.
Proses ini oleh masyarakat Bali disebut Tri Hita Karana. Semua proses ini terlihat pada prosesi Nyepi, yang diawali dengan melasti sebagai sarana pembersihan diri dan alam semesta secara spiritual, butta yadnya pengerupukan dengan mecaru sebagai perwujudan keseimbangan dan keselarasan hidup manusia dengan lingkungan, alam itu sendiri,  catur brata penyepian sebagai sarana mawas diri terhadap apa yang telah diolakukan minimal setahun terakhir, menyatukan diri dan ‘nunas’ berkah dan karunia Ida Sang Hyang Widi di hari yang baik ini.
Nyepi berarti kembali ke kosong, agrometer nol dalam kesucian lahir bathin. Kosong sebagai asal mula alam dunia ini sebagai sunya, sunyi, sunia. Sebagai makna dari ekawara ngaran luwang. Dan proses terakhir adalah ngembak geni sebagai proses penyelarasan diri dengan sesame umat, karena secara sadar dalam kehidupan ini setiap orang pasti pernah berbuat salah terhadap yang lainnya, sehingga perlu saling memaafkan. 
Semua ini berdasarkan keikhlasan, dimana rumusan sederhana Ilmu Ikhlas itu sebagai berikut :
Ikhlas + Ikhlas = Berkah ,
yang dapat kita terjemahhkan dalam hubungan hidup sebagai keokhlasan yang member, keikhlasan yang menerima, astungkara akan menjadi berkah untuk keduanya. Hendaknya demikian pula dalam kita membangun kontempelasi keseimbangan hidup yang memaknai Tri Hita Karana.
Makna Catur Brata
Dalam melaksanakan nyepi, kita melakukan catur brata penyepian, yaitu : Mati Geni, Mati Karya, Mati Lelanguan, dan Mati Lelungaan. Disini mati berarti terminal, diam, tidak. Mati Geni tidak menyalakan api, merupakan simbul penciptaan kesunyian, kesiap siagaan, sehingga kita dapat berada pada suasana hening, senyap dengan minilam sinar (api), mati geni juga berarti tidak memasak, yang berarti nyepi perlu persiapan, minimal persiapan makanan sehari sebelumnya, menyiapkan makanan yang tidak basi untuk sehari dan tidak memerlikan pemanasan. Ingat bahwa pada awaknya nyepi tidak disertai frngan puasa. Baru belakangan ini setelah banyak paka pakar agama lulusan India yang mengamalkan ilmunya di tanah air. Sehingga mati geni bermakna luas, keheningan, kesunyian, oersiapan hingga pengekangan hawa napsu yang juga berarti unsure api dalam diri.
Mati karya, berarti : tidak melakukan pekerjaan sehari penuh pada sat hari nyepi. Tujuannya agar kita dapat melakukan kontempelasi diri dengan baik, tidak diganggu dengan pekerjaan rutin sehari-hari. JUga merupakan kesempatan untuk bersama sama melakukan kontempelasi berjamaah di dalam rumah bersama keluarga. Menyatukan diri dengan diri sendiri – atma- , Ida Sang Hyang Widi, serta dengan alam semesta yang sangat kelelahan telah menyapkan manusia bahan kehidupan.
Agas kedua Mati tersebut dapat dilakukan dengan baik, maka kita sangat mengurangi kegiatan yang mengganggu kontempelasi, sehingga tidak melakukan kegiatan yang jauh dari rumah, sehingga kita todak bisa bepergia, sebagai wujud mati lelungaan. Demikian pula tidak banyak waktu untuk melakukan perawatan diri, bersolek, sehingga wangi, sebagai wujud dari mati lelanguan. Jadi kita diharapkan dapat mengoptimalkan kelima indera kita merenungkan, meikmati keheningan nyepi, tidak terganggu oleh wewangian –lelanguan-, yang dapat mengganggu konsentrai kita melakukan nyepi.
Recovery kualitas udara dan nilai ekonomis.
Dari segi perubahan iklim dan pemansasn global, pemberhentian kegiatan sehari semua kendaraan, tidak menyalakan api, tidak bepergian, maupun tidak melakukan kerja, merupakan saat yang tepat untuk mengistirahatkan atmosfer kita menyerap polutan, sehingga dalam sehari apalagi saat musim hujan Maret, nyepi sangat membantu mengendapkan polutanh yang mengambang di udara, kualitas udara menjadi terbarujan, sehingg tak salah bila beberapa facebooker mengatakan saat nyepi bernafaslah panjang-panjang karena udara bersih, recoveri polutan dalam paru-paru dengan udara bersih.
Nyepi disini dapat berfungsi sebagai recovery udara di atmosfer, walau hanya sehari. Sebagai konsep menjaga keseimbangan antara umat manusia dengan alam semesta, dengan menyadari manusia dan alam semesta ini bersama-sama sebagai ciptaan TUhan, Ida Sang Hyang Widhi yang terus menerima rakhmatnya.
Dari segi ekonomis, bisa dihitung berapa biaya yang dihemat saat nyepi dengan tidak adanya kendaraan bermotor, pabrik dll yang berhenti mengkonsumsi bahan bakar minyak –BBM-, sehingga tidak lah salah bila Bupati (Badung) saat COP-UNFCC di bali mengusulkan kalau konsep nyepi dapat diadopsi untuk dilakukan secara universal untuk ikut mengendalikan polusi. Minimal memberikan bumi dan atmosfer ini beristirahat untuk menyerap polutan dan gas rumah kaca, sehingga secara rutin dapat menyedarkan umat manusia untuk selalu mengendalikan lingkungannya, termasuk pemanasan global dan perubahan iklim. Ternyata Nyepi memiliki makna yang melampaui konsep awalnya, dalam melestarikan alam, mengendalikan pencemaran sehingga konse[ awa; sebagai saat kembali ke sunyi, tetap abadi sepanjang masa.
“SELAMAT HARI RAYA NYEPI CAKA WARSA 1934”

0 comments:

Posting Komentar