Minggu, 04 Desember 2011

“PENDEKATAN SOSIO CULTURAL RELIGIUS DALAM MERANGKUL MASYARAKAT PAPUA”

Oleh : I Putu Pudja

Belakangan ini, konflik di Papua terasakan meningkat. Tidak saja soal hubungan industrial pada Perusahaan Tambang Tembaga terbesar di Indonesia Freeport, namun disana-sini menunjukkan geliat yang sama seperti eksistensi gerakan separatis, dengan adanya pengacau keamanan dengan penembakan disana sini, seakan Bumi Cenderawasih itu tidak lagi aman. Padahal pra reformasi 1998, suasana disana-saat penulis mukim sekitar sepuluh tahun 1991-2000- terasa adem, bahkan kesejahteraan terasa melebihi bila dibandingkan dengan bila bertugas di wilayah lain.

Kelihatan ada yang kurang beres disana terkait dengan pembangunan, DI era otonomi khusus, maupun pembangunan secara umum di tanah besar ini, walau bila dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia porsi pembangunan disana memperoleh persentase porsi yang relative lebih besar. Hal itu berbuntut dengan pembentukan  Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Dalam awal siaran persnya Ketua UP4B, Bambang Darmono mengatakan akan menempuh langkah penyelesaian berbagai persoalan yang ada dengan dialog secara konstruktif dengan masyarakat Papua.

Terkait dengan permasalahan tersebut, dengan bekal pengalaman bertugas di tengah-tengah masyarakat Papua walau hanya sekitar sepuluh tahun, serta perjalanan hampir kesemua kabupaten yang ada di Papua sebelum era reformasi, penulis ingin urun rembug, terutama dalam hal pendekatan yang dapat diambil dalam membanghun –dialog- dengan masyarakat Papua.

CIRI MASYARAKAT PAPUA

Memperhatikan masyarakat Papua, yang secara umum hidupnya berkoloni dalam masing-masing suku. Dengan suku yang jumlahnya ratusan membuat masyarakat Papua mempunyai strata social, komunitas, bahasa yang menjadi cirri masing masing suku. Mereka bahkan memiliki bahasa masing-masing, bahkan banyak diantara suku yang satu dengan lainnya memiliki kata-kata yang tidak ada padannya. Mereka hidup dengan strata masyarakat yang dikepala seorang Kepala Suku – ondoapi- .

Kepala suku sangat dihormati dalam komunitasnya, bahkan tidak jarang suku lainpun sangat menghormatinya. Demikian pula sebaliknya antara suku yang satu dengan suku yang lainnya walau menurut kita sebagai pendatang merupakan hal yang sepele, dapat mengakibatkan perang suku.

Karena lambatnya pembangunan menjamah sampai daerah pedalaman, karena berbagai kesulitas, diantaranya transportasi, bahasa, adat dan lain sebagainya, menyebabkan belum meratanya pembangunan di daerah tersebut. Perlu diketahui bahwa Papua merupakan daerah yang unik dalam transportasi, tidak jarang satu desa dengan desa lainnya dalam satu kecamatan transportasinya adalah transportasi udara, apalagi antar kecamamatan maupun antar kabupaten, sangat sedikit  dihubungkan dengan transportasi darat.

Pembangunan pokok dalam bidang kesejahteraan, pendidikan dan kesejatan di daerah ini secara umum mendatangkan petugas dari luar daerah, bahkan tidak jarang dari luar pulau, sehingga para petugas akan selalu memcari upaya baganimana mereka dapat pindah ke kota dari daerah tersebut. Merupakan salah satu persoalan klasik yang dihadapi dalam pembangunan daerah –terpencil- Papua.  

Namun para misionaris yang umumnya merupakan misionaris asing, yang sudah masuk sejak zaman pendudukan Belanda, melakukan pembinaan sangat intens dan masuk kedalam adat masyarakat disana, sehingga mereka mampu membangun masyarakat Papua menjadi masyarakat yang sangat religious, dan sangat taat melakukan kewajiban agama. Tidak jarang popularitas para misionaris sangat kentara dalam masyarakat, mereka selalu dipatuhi dan ditiru oleh masyarakat, sampai ada kalimat , semacam motto pengabdian yang sangat dikenal oleh masyarakat Papua. Kira=kira bunyinya sebagai berikut: “Barang siapa berlaku jujur di tanah besar ini, dia akan menemukan tanda heran yang satu ke tanda heran lainnya”. Yang merupakan ajakan untuk selalu berbuat jujur di tanah besar ini –Pulau Irian-.

Pendekatan yang berbau pelestarian dan penelitian juga  banyak ditempuh para misionaris, yaitu dengan menerjemahkan Al Kitab ke dalam bahasa-bahasa suku-suku yang ada di papua, sehingga menjadi kebanggaan masyarakat, terutama suku-suku terkait.

BEBERAPA PENDEKATAN

Melihat sosio  masyarakat Papua yang sangat kuat ikatannya dengan adat serta sangat taat beribadah, taat melakukan kewajiban agama sebagai cerminan ketaatan mereka terhadap Tuhan Yang Maha Esa, maka dalam keseharian masyarakat Papua tidak dapat dipisahkan dengan Tetua Adat –baca Kepala Suju-  dan Para Pemuka Agama. Mereka akan sangat mendengarkan segala perintah mereka, sehingga pendekatan dalam merangkul mereka dalam mengembangkan pembangunan di Papua, perlu memperlajari cara tersebut atau menjalin komunikasi dengan mereka sebelum langsung masuk langsung ke masyarakat akar rumpt.

Pembangunan dasar yang dilakukan terutama untuk pembangunan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan masyarakat, perlu meniru, melibatkan pilar-pilar yang sudah kokoh ada di dalam masyarakat Papua, yaitu Strata Adat dalam membangun masyarakat dengan pendekatan social cultural. Pelibatan strata adat dilakukan akan mempermudah keterlibatan langsung masyarakat, sehingga mereka merasa ikut terlibat dalam proses pembangunan, dan tidak hanya sebagai penonton dan penikmat hasil pembangunan tersebut. Dan hasil pembangunan tidak mereka anggap barang asing dalam masyarakat mereka.

Pelibatan aparat agama, aparat ulama – ulama gereja, ulama mesjid- walau secara umum sebagian besar masyarakat Papua sebagai kristiani yang taat, belakangan dengan terbukanya Papua sudah banyak diantara mereka memeluk agama non kristiani, sebagai contoh kita dapat menyaksikan Dai asli Papua yang sering siaran Agama Islam di Televisi. Pendekatan yang dilalukan dapat berupa pendekatan religius, dengan memberikan contih-contoh riil secara langsung dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengam masyarakat Papua.

Dialog bisa dibangun dengan masyarakat Papua melalui atau melibatkan cara-cara Ketua Adat  ( baca Kepala Suku ),  Pemuka Agama, melalui kegiatan adat maupun kegiatan agama. Kedua strata masyarakat  adat maupun agama, abjurannya sangat diikuti oleh masyarakat, terutama masyarakat di pedalaman Papua.

Beberapa lembaga kelihatannya telah menempuh cara ini dalam ikut membangun masyarakat Papua, seperti Surya Foundation pimpinan Prof Johannes Surya telah ikut memndidik masyarakat Papua dalam bidang Sain, bekerja sama dengan aparat setempat. Bahkan beberapa sudah memenangkan beberapa perlombaan di bidang sain tingkat nasional maupun internasional.

Mengingat pemerintah yang memegang role dalam pembangunan nasional termasuk pembanguman di daerah Papua dan Papua Barat, maka keterlibatan pemerintah terutama Pemerintah Daerah, sebagai pelaku Otonomi Khusus, perlu merangkaul dua pilar yang disebutkan diatas, sehingga dalam pembangunan masyarakat Papua, terutama pembangunan dasar dalam kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan masyarakat Papua, sedikitnya ada tiga pilar kuat dan saling bersinergi, yaitu : Pemerintah – termasuk pemerintah Daerah-, Strata Adat dan Strata Agama dalam mempercepat pembangunan di Papua.

Dengan demikian  percepatan pembangunan dasar –kesejahteraan, pendidikan, kesehatan-,  apalagi kalau sudah nyata dirasakan masyarakat Papua sampai ke pedalama, akan berimplikasi pada percepatan peredaman gejolak yang terjadi di masyarakat Papua, yang sebenarnya dari dulu juga ada, hanya saja dengan kemajuan teknologi informasi yang sudah merambah pedalaman, era keterbukaan, deokratisasi dan era HAM, memberikan kesan gejolak Papua meningkat belakangan ini.


Dr I Putu Pudja, pemerhati masalah kemasyarakatan Papua. Pernah sepuluh tahun bermukim di Papua.

Catatan : Telah dimuat pada Suara Pembaruan, 25 Nopember 2011, halaman 4.


0 comments:

Posting Komentar