Minggu, 18 Desember 2011

“AZAS LEGALITAS DAN KETIDAK HARMONISAN DALAM KASUS LAHAN MESUJI”


Pada Kamis (15/12), lembaga pemeringkat internasional, Fitch Ratings menaikkan peringkat investasi bagi Indonesia menjadi BBB- atau setara dengan investment grade. Dengan peringkat itu memungkinkan Indonesia semakin tertarik bagi investor asing. Sebagai tindak lanjut, menurut ketua  umum Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi yang penting dilakukan secara bersama antara pemerintah dan pengusaha adalah mem-follow-up (menindaklanjuti) investment grade itu dengan upaya mempercepat pembangunan infrastruktur, mempercepat realisasi penggunaan anggaran.

Berita yang kontradiktif terkait investasi dating dari Mesuji. Penguasaan lahan sebagai tindak lanjut Hak Pengusahaan yang dimiliki perusahan sebagai investor perkebunan, PT SIL,  menimbulkan tuntutan berbagai pihak yang berpihak pada masyarakat untuk mengadakan penelitian terhadap dugaan adanya dugaan pelanggaran Hak Azasi Manusia di daerah tersebut. KOnflik sebenarnya telah lama berlangsung namun perhatian masyarakat luas baru bergaung belakangan ini, sebagai tindak lanjut  upaya masyarakat petani (penggarap)  yang mempertahankan lahannya melawan kakli tangan pemodal,
Konflik antara masyarakat dengan pemodal memang merupakan kejadian yang sangat sering terjadi di tanah air. Beberapa kejadian bisa kita ikuti dengan adanya pemalangan –penutupan- beberapa bandara di wilayah Indonesia timur karena adanya masalah sisa terkait dengan masalah pembebasan lahan, yang belum memuaskan atau belum terselesaikan dengan para pemilik tanah, baik mereka ebagai penggarap maupun pemilik hak ulayat.
Kasus konflik dengan investor juga terjadi di daerah wisata Nusa Dua – Uluwatu, yang merupakan konflik ,asyarakat dengan investor karena adanya undang-undang adat –awig-awig- yang dilanggar investor,  tentang radius kesucian sebuah pura, ketinggian bangunan maupun diloloskannya seorang buronan membangun sebuah resort di kawasan tersebut, mendapat protes keras masyarakat maupun anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Semuanya itu dapat diselesaikan dengan win-win solution, tanpa dengan kekerasan setelah pemerintah turun tangan sebagai mediator antara investor –pemodal- dengan masyarakat setempat, dengan mendengar tuntutan masyarakat menampungnya dalam kerangka peraturan perundang undangan yang berlaku nasional maupun yang berlaku khusus di tempat konflik, karena setiap tempat memiliki kearifan local masing-masing, seperti di Papua, adat suku setempat akan sangat berperan, di Bali adat dan masalah kepercayaan masyarakat sangat berperan, yangsemuanya pasti telah dipahami pleh pemerintah setempat.
KASUS MESUJI
Kasus Mesuji, kelihatannya pada tahap awal memang dikelola dengan cara yang sama, hanya saja konflik antara penggarap lahan –mungkin ada sebagai pemilik lahan- hanya saja secara yuridis formal tidak ada dasar surat pendukung dengan pemodal yang memiliki ijin pengusahaan, hanya saja di dalam perkembangannya pada saat ‘gencatan konflik’ tanah disepakati sebagai status quo sebagai tenggang waktu untuk berunding, pihak investor dengan pam swakarsanya membakar semua milik masyarakat penggarap di lahan tersebut termasuk tempat tinggal dan lain-lain yang ada di lahan tersebut.
Kejadian ini menimbulkan kemaraham penggarap, sehingga terjadilah ‘perang’ saling serang antara penggarap dengan pam swakarsa sebagai manifestasi pemodal –investor-. Dilaporkan bahwa adanya pos polisi dengan anggota polisi di lahan tersebut lebih membiarkan –kalau tidak memihak-  yang menjadikan polisis dianggap para penggarap lebih memihak pemodal, terkesan ikut melawan penggarap ( TVOne, 15/12). Padahal saat disepakati gencatan konflik, polisi menjadi penengah. Sedang dalam tahapan selanjutnya karena polisis ponya berada di lahan dan lahan dibiarkan dikuasai oleh pam swakarsa, akhirnya masyarakat menudingnya sebagai pro pemodal.
Disini terlihat bahwa polisi menggunakan legalitas formal adanya surat ijin pengusahaan lahan sebagai dasar landasan pemenangan negoisasi, dengan tidak melihat sejarah pengusahaan atau penggarapan untuk menekan masyarakat dan seakan membiarkan pam swakarsa yang sudah pasti bergerak hanya berdasarkan bayaran dan tidak tahu persoalan pokok, membela pemodal dalam penguasaan lahan Mesuji.
Ini sesuai dengan teori kekuatan legalitas dalam konflik David Calckins,  yang memanfaatkan aspek legal untuk memberikan kekuatan kepada hasil dialog dan negosiasi agar semua pihak melaksanakannya (Novri Susan, 2011), dengan mengabaikan sejarah pemilikan atau penggarapan lahan yang umumnya lemah dalam masyarakat tradisional karena ketiadaan surat tanah.
Para pihak rupanya tidak menghamoniskan antara kesepakatan dan implementasi di lapangan. Kesepakatan untuk mengadakan gencatan konflik untuk melanjutkan negosiasi. Masa tenang saat masyarakat mengadakan musyarah diantara mereka untuk menyusun kekuar\tan negoisasi dimanfaatkan untuk pembersihan tempat tinggal dan milik penggarap pada lahan tersebut oleh pemodal, dengan menggunakan pam swa karsa, yang kelihatannya saat negosiasi belum ada, sehingga tidak tahu hasil kesepatan untuk gencatan konflik. Atau memang digunakan untuk menyamarkan kemauan pemodal untk melemahkan kekuatan penggarap. Secara psikologis pembakaran dan pemusnahan milik mereka di lahan tersebut akan melemahkan daya juang mereka.
Itu rupanya yang terjadi selama ini, sehingga kalau kita runtut kejadian Kasus Mesuji yang sudah terjadi akhir tahun 2010 lalu, kenapa baru sekarang diributkan.
PERAN PEMERINTAH DAERAH
Adanya serangan balik masyarakat sebagai luapan ketidak puasan merka terhadap aparat yang bertugas di lahan Mesuji –kepolisian-, menunjukkan bahwa tindakan aparat di lahan tersebut represif dan ‘memihak’ pemodal yang direfresentasikan oleh pam swakarsa, dan tidak berfihak kepada penggarap membenarkan teori David Calckins, hanya melihat aspek legal formal saja. Padahal seharusnya polisi sebagai Pembina dan pelindung masyarakat, sangat tahu dengan kondisi soaial, adat maupun tradisi sejarah pengarapan lahan di daerahnya.
Berkepanjangannya konflik Mesuji melibatkan penggarap, pemodal dan polisis, menunjukkan tidak ada atau kecilnya keterlibatan pemerintah daerah pada konflik ini, kemana pemerintah daerah pada kasus ini perlu dipertanyakan keberadaannya, padahal dalam konflik-konflik serupa yang sukses dikelola dengan win-win solution pemerintah selalu sebagai mediator, karena pemerintah daerah berkepentingan dalam menarik investor ke daerahnya, mensejahterakan masyarakatnya, serta menekan potensi konflik di daerahnya agar selalu kondusif, menjadi pilihan investor.
Karena pemerintah daerah yang paling tahu, minimal lebih tahu tentang sejarah lahan Mesuji –bila keterangan masyarakat penggarap diragukan pemodal, maupun polisi- dibandingkan pemodal, polisi dan pam swakarsa, selayaknya pemerintah daerah segera turun tangan membantu menyelesaikan konflik mencari jalan keluar dengan pendekatan kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan masyarakat, yang merupakan hak setiap masyarakat termasuk penggarap yang menggarap lahan Mesuji selama ini, sehingga korban tidak menjadi semakin bertambah.
Pemerintah daerah memberikan masukan Tim Pencari Fakta yang dibentuk pemerintah untuk mencari akar permasalahan Mesuji, serta menyelidiki pihak-pihak yang terkait konflik, termasuk pihak-pihak yang ditengarai melanggar HAM. Pemerintah daerah harus benar-benar objektif, berdiri di tengah-tengah para pihak yang berkonflik.
AZAS LEGALITAS DAN KETIDAK HARMONISAN
Bila memperhatikan permasalahan lapangan Kasus Mesuji yang ramai diperbincangan dalam media massa belakangan ini terlihat bahwa : polisi telah hanya memanfaatkan azas legalitas untuk memberikan kekuatan dialog dan negoisasi antara pemodal dan penggarap lahan Mesuji, sehingga terkesan ada tindakan represeif disana, tanpa melihat sejarah pengarapan lahan yang telah berlangsung lama bahkan turun temurun dari para penggarap. Peran Pemerintah Daerah tidak Nampak dalam negoisasi ini, sehingga sangat disayangkan.
Mengaitkan dengan keharnisan antara pemikiran, ucapan dan tindakan yang dikemukakan Gandi, maka dalam kasus Mesuji telah terjadi ketidak harmonisan antara pemikiran yang terucap dalam negoisasi, yaitu mengadakan gencatan konflik, menjadikan status quo lahan yang disepakai para pihak, tidak dilaksanakan, karena masuknya pam swakarsa ke lahan -dibiarkan oleh polisi-  untuk membakar pemukiman masyarakat, sehingga masyarakat penggarap menjadi kalang kabut. Ketidak harmonisan antara kesepakatan yang telah diambil dengan implementasi di lapangan rupanya menimbuknan konflik berkepanjangan di lapangan,
Melihat kasus Mesuji yang dalam penyelesaiannya menggunakan azas legalitas, dan adanya ketidak harmonisan sehingga tejadi pelanggaran dalam proses penyelesaiannya, kedepan kasus Mesuji dan kasus serupa yang sangat mungkin terjadi di tempat lain, kelihatannya sangat diperlukan adanya mediator yang adil dalam setiap kasus, baik kepolisian maupun pemerintah daerah,


0 comments:

Posting Komentar