Oleh : I Putu Pudja
Hasil penelitian di
laboratorium terhadap gaya yang dikerjakan pada material yang bervariaso dari
yang homogen, semi homogen sampai yang sangat tidak homogen atau heterogen,
ditemukan bahwa ketiga nya mempunyai respons yang sama, yang diakibatkan oleh
elastisitas batuan.
Hasli penelitian secara mikro di laboratorium ini, ditarik
untuk mengklasifikasikan tipe-tipe gempa. Stress yang diberikan kepada material
diidentikkan dengan energi stress yang terbangun pada patahan atau bantaun
dimana gempabumi itu terjadi, sedangkan frekuensi getaran yang dimonitor dalam
penyelidikan di laboratoriu, diidentikkan dengan gempabumi yang terjadi.
Gambar : Hasil Penelitian di
Laboratorium untuk pembebanan stress pada berbagai jenis batuan.
Mogi (1963) menggolongkan
gempabumi menjadi tiga tipe, yaitu :
1.
Gempabumi tipe I.
Merupakan rangkaian gempabumi dimana gempa utama –main shock- diikuti oleh
banyak gempa sususlan –aftershocks-, namun rangkaian gempa ini tidak didahului
oleh gempa pendahuluan –foreshock-. Rangkaian gempa tipe I ini dikaitkan dengan
deformasi pada material pembentuk bumi dimana gempabumi itu terjadi yang bersifat
homogen.
2.
Gempabumi tipe II.
Merupakan rangkaian gempabumi dimana gempabumi utama didahului oleh beberapa gempa
pendahuluan, dan setelah gempabumi utama disertai oleh banyak gempa susulan.
Tipe gempabumi ini dikaitkan dengan kondisi batuan yang terdeformasi bersifat
semi homogen.
3.
Gempabumi tipe
III. Merupakan gempabumi yang tidak memiliki gempabumi utama. Dia merupakan
rangkaian gempabumi panjang tanpa diserta gempabumi utama, sampai berhentinya
rangkaian gempabumi itu. Tipe ini dikaitkan dengan gempabumi yang terjadi pada
material yang terdeformasi bersifat sangat heterogen. Gempabumi tipe III ini
juga disebutkan dengan swarm.
Hubungan
antara frekuensi gempabumi dan stress yang bekerja pada material batuannya
terlihat pada gambar di atas.
Hampir
sebagian besar gempabumi tektonik yang terjadi di Indonesia, merupakan
gempabumi tipe II, Seperti
Gempabumi Sumbawa (1976). Gempabumi Aceh
(2004), Gempabumi Jogyakarta ( 2006) dan lain lainnya. Banyaknya frekuensi gempabumi
susulan yang terjadi biasanya digunakan untuk memprediksi kapan berhentinya
ancaman gempabumi di daerah terdampak bencana. Walau secara instrumentasi
rangkaian ini akan tercatat sangat lama terjadinya.
Sifat ini digunakan untuk memperediksi kapan mereda atau berakhirnya gempabumi susulan.
Dasar untuk fisis yang digunakan sebagai perhitungan perediksi berhentinya, tepatnya meredanya gempabumi susulan adalah teori peluruhan energi yang merupakan fungsi eksponensial terhadap waktu. Selang waktu yang digunakan tergantung kondisi di lapangan, namun kalau pencatatan gempabumi susulannya sangat baik digunakan frekuensi harian. Untuk mudahnya bisa digunakan perhitungan eksponensial dengan exels atau hanya dengan grafik pada kertas semi logatmik. Kurvanya akan mirip dengan kurva pada gambar diatas yang sebelah kanan.
Sifat ini digunakan untuk memperediksi kapan mereda atau berakhirnya gempabumi susulan.
Dasar untuk fisis yang digunakan sebagai perhitungan perediksi berhentinya, tepatnya meredanya gempabumi susulan adalah teori peluruhan energi yang merupakan fungsi eksponensial terhadap waktu. Selang waktu yang digunakan tergantung kondisi di lapangan, namun kalau pencatatan gempabumi susulannya sangat baik digunakan frekuensi harian. Untuk mudahnya bisa digunakan perhitungan eksponensial dengan exels atau hanya dengan grafik pada kertas semi logatmik. Kurvanya akan mirip dengan kurva pada gambar diatas yang sebelah kanan.
Sedangkan
gempabumi volkanik atau runtuhan umumnya tergolong pada tipe III, yang
merupakan rangkaian gempabumi menarik dan menakutkan masyarakat sekitarnya yang
merasakan, karena umumnya disertai dengan suara gemuruh disamping goncangan.
Gempabumi jenis ini banyak termonitor di : Papua Barat, Gn Lawu (1979), Lampung
dan tempat lainnya.
Puri
Gading 05 Pebruari 2015.
0 comments:
Posting Komentar