PERSEPSI BUDAYA DALAM AGAMA
HINDU
Wuthnow dan Witten menggolongkan budaya secara
umum menjadi dua golongan, yaitu:
a. Golongan
yang berpendapat bahwa budaya tersirat dalam kehidupan sosial. Budaya adalah
sesuatu yang secara alami muncul sebagai transformasi individu mereka sendiri
ke dalam kelompok sosial sebagai suku, masyarakat, dan puncaknya sebagai suatu
bangsa.
b. Golongan
yang berpendapat bahwa budaya tersurat sebagai produk sosial yang timbul dari
berinteraksi sosial baik secara sengaja atau tidak sengaja yang merupakan akibat
dari perilaku. Dengan kata lain, budaya terdiri atas berbagai wujud yang
berbeda (seperti: bahasa, penggunaan simbol-simbol, upacara-upacara, adat,
metode pemecahan masalah, penggunaan peralatan atau teknologi, dan perancangan
pengaturan pekerjaan) dimana kelompok orang membuat suatu interaksi sosial dan
menggunakannya untuk menghadapi lingkungan sosial yang berada di luar.
Pandangan ke dua mengenai budaya ini lebih
relevan untuk analisis dan evaluasi budaya dan strategi perubahan budaya sehingga
pemimpin umat dapat menggerakkan umatnya dalam meningkatkan kinerja..[1]
Budaya dimulai dari kepemimpinan,
dan didukung dengan kumpulan pembelajaran dari para anggota organisasi, dan
merupakan kekuatan (walaupun hanya sering tersirat) yang menyusun upaya yang
menentukan tingkah laku manusia. Budaya organisasi mempunyai makna lebih dalam
dari hanya sekedar kata-kata yang digunakan sebagai pernyataan tujuannya.
Budaya adalah web dari pemahaman
secara diam, batasan-batasan, bahasa umum, dan pengharapan bersama yang dijaga
dari masa ke masa oleh para anggotanya.[2]
Dalam budaya dikenal adanya panutan
dari para anggota terhadap pemimpinnya, dari anggota baru terhadap anggota yang
lama.
Menurut Trice dan Beyer dalam
Stephen E. Condrey, tentang budaya Organisasi (demikian juga iklim organisasi),
bahwa budaya organisasi merupakan sebuah konstruksi sosial yang masih menjadi
bahan perdebatan para pakar manajemen.[3] Namun
dia mengatakan bahwa budaya organisasi menyangkut semua hal berikut:
1.
budaya yang ada di dalam
organisasi, sama dengan budaya sosial tetapi pada skala organisasi;
2.
fenomena yang menjelma menjadi
nilai-nilai, keyakinan, asumsi, persepsi, norma perilaku, artifak dan pola dari
perilaku;
3.
konstruksi sosial yang tidak
kelihatan, gaya yang tak terobsevasi dibelakang aktivitas organisasi;
4. energi sosial yang menggerakkan para anggota organisasi;
5.
alat pemersatu dalam
mengarahkan dan memobilisasi para anggota organisasi; dan
6.
alat informal pengontrol
mekanisme perilaku para anggota organisasi.
Menurut Alvesson, tentang budaya organisasi. Bahwa budaya
organisasi adalah suatu campuran interaktif dalam
tingkat kepercayaan, kenyataan yang dibangun secara sosial, nilai-nilai,
tradisi profesional, cara pikir, tentang norma dalam berbagai hal bersama oleh
anggota organisasi.[4] Menurut Moorhead dan Griffin, budaya organisiasi adalah
sekumpulan nilai-nilai yang membantu, para anggota (pekerja) pada suatu
organisasi memahami bahwa kegiatannya dapat diterima atau tidak diterima.
Kilman
dalam Gallagher, berpendapat budaya sebagai kekuatan fisik. Budaya menyediakan
makna, arah, dan mobilisasi.[5] Budaya dapat berfungsi sebagai: energi yang
mengalir dari komitmen bersama antar anggota kelompok; kekuatan yang
mengendalikan perilaku pada tiap-tiap tingkatan dalam organisasi; sesuatu yang
membedakan dengan organisasi lainnya; sistem yang berkembang dan berubah;
sistem yang harus diatur dan dikendalikan.
Condrey, menyatakan bahwa iklim
dan budaya organisasi merupakan pegangan bagi pemimpin umat yang dapat
digunakan untuk menahan status quo, membantu organisasi untuk mengembangkan dan
meningkatkan lebih tinggi: kinerja, produktivitas, fleksibilitas, inovasi,
efektivitas atau keberagaman dalam organisasi.[6]
Budaya organisasi merujuk kepada
suatu sistem pengertian bersama yang dipegang oleh anggota-anggota suatu
organisasi, yang membedakan organisasi tersebut dari organisasi lainnya. Sistem
pengertian bersama ini, dalam pengamatan yang lebih seksama, merupakan
serangkaian karakter penting yang menjadi nilai bagi suatu organisasi.[7]
Cara
anggota organisasi (masyarakat)
mempelajari budaya (organisasi) dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: (1) Melalui
cerita-cerita. (2) Dengan ritual/upacara-upacara; (3) Melalui simbol-simbol
material., dan (4) Melalui Bahasa.
Dari
uraian teori-teori di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi
adalah sistem sosial berupa nilai-nilai, keyakinan, norma, dan asumsi bersama yang mengikat,
dipelajari dan dikembangkan para anggota organisasi sebagai pedoman dalam
memecahkan masalah organisasi..
Bila kita ingat kembali, bahwa tujuan hidup sesuai ajaran
Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup lahir bathin.
Salah satu usaha untuk mencapai tujuan hidup tersebut, melalui tiga pilar Agama
, yaitu dengan mengamalkan : (1)
Filosofi Agama Hindu, (2) Menjalankan Susila ( etika, norma) dan (3) Ritual,
Upacara (Yadnya).
1. Filosofi,
atai Tatwa, yang secara prinsip merupakan lima keimanan umat Hindu, berupa
keyakinan utama terhadap : brahman, atman, karman, punarbawa dan mokhsa, yang
biasanya kita kenal dengan Panca Cradha.
2. Susila.
Yang mencakup didalamnya etika dan norma-norma. Susila ini menekankan pada
prinsip Trikaya Parisuda, cara berprilaku yang baik dan benar. Trikaya parisuda
mencakup: (1) manacika –berfikir yang baik dan positif-; (2) wacika –berkata yang
baik dan jujur-, dan (3) kayika –berbuat yang baik -. Disamping itu yang menjadi pedoman pokok
adalah prinsip Tat Wam Asi – engkau adalah aku juga- .
3. Upacara,
Yadnya, sebagai implementasi dari ajaran agama. Yadnya yang merupakan korban
suci yang dilakukan umat Hindu. Secara umum dalam agama Hindu dikenal Panca
Yadnya, yaitu : (1) Dewa Yadnya, upcara korban suci yang di tujukan kepada
Tuhan Yang maha Esa, dengan segala manifestasinya, (2) Pitra Yadnya, upacara ,korban
suci yang ditujukan kepada para leluhur, roh-roh yang sudah tersucikan; (3) Rsi
Yadnya, korban suci yang ditujukan kepada orang-orang suci –para Rsi-; (4)
Manusia Yadnya –upacara atau korban suci yang ditujukan bagi umat manusia sejak
lahir, hingga meninggal, dan (5) butta Yadnya, merupakan upacara korban suci
untuk para butta, untuk menetralisir pengaruh-pengaruh alam yang negatif.
Dalam imlpementasi ajaran agama untuk mencapai tujuan hidup
umat Hindu ini didalamnya ada keyakinan, kepercayaan, pelaksanaan susila,
etika, norma, maupun simbul-simbul, artefak yang digunakan dalam pelaksanaan
panca yadnya.
Inplementasi ini bila disandingkan dengan cara masyarakat
mempelajari budaya, maka terlihat kesamaan
diantara keduanya.
Dengan demikian tidaklah berlebihan apabila beberapa
pakar menyatakan bahwa:
1.
Agama
merupakan inti dari budaya yang berkembang di masyarakat;
2.
Budaya
tidak akan bertentangan dengan ajaran agama, kalaupun ada maka agama akan
menjadi filter dari budaya tersebut, dalam perkembangan peradaban saat ini.
Jakarta, End of December 2012
[1] The Nation Defense
University, Organizational Culture, http://ww2.jhu.edu/jhuonpoint/ content/organizational-culture.pdf,
received at July 21, 2009, hlm.1-2.
[2] L.
Aiman Smith, What Do We Know about
Developing and Sustaining a Culture of Innovation, received at July 21,
2009, p. 1, http://cims.ncsu.edu/downloads/Research/71_WDWK_culture.pdf,
[3] Stephen E. Condrey, Handbook
of Human Resource Management in Government, (San Fransisco: Jossey-Bass,
2005), p. 300.
[4] Mats Alvesson, Understanding Organizational Culture, (London: SAGE Publications, 2002), p. 48.
[5] Richard S. Gallagher, loc cit.
[6] Stephen E. Condrey, op. cit., p. 297.
[7] Fred Luthans, op.cit. hlm. 279.
0 comments:
Posting Komentar