FAKTOR UTAMA DALAM BANJIR DI
SEKITAR JAYAPURA
Oleh : I Putu Pudja
Kamis, 3 Agustus 2017 lalu
dilanda banjir, dengan konsentrasi banjir di daerah Entrop, daerah Perkantoran
Otonom Kotaraja, dan daerah Komplek Perumahan Organda. Mengingatkan penulis
akan nyamannya kota Jayapura, dimana penulis pernah bermukim sepanjang periode
1991 – 2000. Ketika itu dapat dikatakan belum pernah mendengar kata banjir,
paling ada genangan air liar di jalan raya selama hujan lebat, karena saluran
tertutup oleh sampah, atau pohon yang tumbang.
Banjir kali ini menurut informasi
dari Kantor BMKG Wilayah V Jayapura, karena adanya hujan lebat yang cukup lama
lebih dari 4 jam sekak pl 03 00 pagi, sehingga volume air permukaan menjadi
meningkat. Kejadian itu terjadi karena berkembangnya daerah tekanan rendah yang
menjadi pumpunan angin kaya uap air di perairan utara Papua. Konsentrasi awan
sampai di atas wilayah Jayapura sehingga hujan menjadi lebat dan lama.
Ditinjau dari topografi Jayapura
yang bergunung dan berbukit di tepian laut, seharusnya banjir susah terjadi
karena aliran air akan segera ke laut. Sehingga pasti ada yang salah dengan
pembangunan di daerah itu. Yang menyebabkan air sulit mengalir ke daerah lepas
yaitu laut.
Kota Jayapura tidak beda dengan
kota kota lainnya di Indonesia. Terlebih setelah terjadi pemekaran wilayah,
mudahnya transportasi ke sana menjadikannya sebagai kota urban, untuk
mendapatkan pekerjaan baik sebagai pegawai swasta maupun sebagai pegawai
negeri.
Semuanya itu membawa konskuensi
kebutuhan pemukiman, kebutuhan perkantoran, kebutuhan sentra sentra
perekonomian, sehingga pusat perkantoran, pusat pertokoan, kawasan pemukiman
baru semakin marak berdiri disana.
Bila memperhatikan ketiga daerah
banjir di Jayapura semuanya merupakan daerah pengembangan baru, yang dulunya
merupakan daerah aliran air dan daerah terminasi air, sebagai rawa ataupun
daerah rendah, yang sebelumnya dihindari oleh masyarakat. Daerah Entrop
sebelumnya merupakan daerah rawa, daerah payau bertemunya air tawar dari
permukaan dengan air laut Teluk Jayapura; Kawasan Perkantoran Otonom dulunya
sebagai rawa dengan hutan sagu sebagai lumbung ‘padi’ nya masharakat setempat,
sebagai daerah terminasi air yang mengalir turun dari pegunungan cyclop lereng
selatan menuju laut, dan Perumahan Organda dulunya merupakan daerah rendah
sebagai tempa lalu dan terserapnya air permukaan karena daerahnya merupakan
sedimen, yang mudah menyerap air dan sebagian merupakan rawa.
Di ketiga lokasi banjir itu telah
terjadi pergeseran peruntukan lahan. Serapan, lahan airan menjadi daerah
pemukiman, perkantoran maupun sentra perekonomian. Bahkan fungsi sarana aliran
air pun dilupakan oleh oengembang, yang menguruk daerah tersebut dalam
pengembangannnya. Perubahan ini menyulitkan penyerapan dan pengaliran air ke
laut, terlebih setelah ditutupi dengan beton atau jalan aspal.
Dalam kondisi cuaca ektrim, hujan
lebat yang berkepanjangan menjadikannya air permukaan yang berlebih sulit
mencari pelepasan laut bebas. Jangankan sampai laut bebas, daerah alirannyapun
cenderung sudah diuruk ditinggikan, sehinga potensial air dalam alirannya menjadi
berhenti di daerah tersebut sebagai cikal bakal banjir.
Satu-satunya jalan untuk
mengantisipasi banjir berikutnya mengingat susahnya lahan di Jayapura untu
daerah yang rendah, perlu dalam pengembangan drainase juga harus tetap
dipikirkan dengan volume tampungan yang tidak berbeda dengan kemampuan aliran
sebelum dikembangkan. Dibuatkan jalan air menuju laut.
Karena memang upaya ini sangat
mahal, sehingga peran Pemerintah Daerah untuk bersinergi mengembangkan wilayah
sangat diperlukan. Hal itu menurut penulis bisa dilakukan oleh pemda Papua,
dalam menjaga kelestarian Papua, dan mengindarkan penduduknya dari ancaman
banjir.
Bintaro, 5 Agustus 2017
0 comments:
Posting Komentar