“GEMPA-GEMPA
BALI DAN BERAKHIRNYA PERIODE SENYAP SEISMIK”
Oleh
: I Putu Pudja.
Masyarakat Bali Selatan belakangan ini, semakin
sering merasakan getaran gempabumi, dengan intensitas yang bervariasi. Terakhir
gempabumi dengan kekuatan 3,5 SR yang dirasakan
walau tidak cukup keras adalah: 1) gempabumi hari Sabtu, 8 April 2017 dinihari, pk 02 32 00 WITA. Dengan posisi pusat gempa pada 9,46 LS –
117,23 BT pada kedalaman 25 km, posisi sekitar 69 km tenggara Sumbawa Barat.
Dua gempa sebelumnya adalah Gempabumi pada : 2). Pada 22 Maret 2017, pk 07 10
27 WITA, dengankekuatan M = 6,4 SR pusat genpa pada : 8,88 LS – 115,24 BT,
sekitar 23 km tenggara Denpasar. Pada kedalaman 117 km. Getaran gempa ini
terasakan dari Lombok, Bali Selatan sampai Malang, pada kisaran III – IV Skala MMI;3). Pada 6 April 2017, pk 13 44 12
WITA. Gempa dengan kekuatan M=4,4 SR dengan pusat gempabumi pada 9,26 LS –
115,49 BT pada kedalaman 76 km. Posisi ini sekitaran 59 km barat daya
Kelungkung. Dirasakan II – III Skala MMI.
Bila kita perhatikan ketiga gempa itu merupakan
gempabumi yang berpusat di laut selatan Bali. Ini menunjukkan bahwa daerah Bali
yang masi eksis sebagai daerah yang rawan terhadap ancaman gempabumi, dari
daerah sumber gempa yang kita kenal sebagai zone subdaksi pertemuan antara
lempeng tektonik Indo-Australia yang menyusup sebagai lempeng samudera, kebawah
lempeng tektonik Eurasia sebagai lempeng kontinen.
Kejadian ini sangat menarik bila dilihat dari
perkembangan seismisitas daerah sepanjang selatan Jatim – Sumbawa. Apakah
kondisi ini membahayakan ataukah menguntungkan Bali dari segi dampak gempabumi
yang mungkin terjadi di daerah ini, mengingat di sepanjang daerah ini mempunyai
sejarah kegempaan yang unik, pernah terjadi gempa besar dan juga pernah terjadi
gempa disertai tsunami: gempa Sumbawa dan Gempa Banyuwangi.
DAERAH
SENYAP SEISMIK
Para seismolog sudah sejak lama memperhatikan
daerah aktip gempabumi sepanjang selatan Jawa Timur – Sumbawa. Karena didaerah
ini sudah cukup lama lebih dari 25 tahun setelah gempa dan tsunami Banyuwangi
belum pernah terjadi gempabumi besar, sehingga daerah ini ditandai dengan
daerah ‘seismic gap’ atau daerah senyap seismic. Beberapa teori menengarai
untuk daerah yang demikian terjadi penumpukan energi gempa di daerah tersebut
yang akan siap di lepas di kemudian hari. Semakin lama senyap seismic ini
secara teoritis akan semakin lama menumpuk energi sehingga energi gempa yang
diperkirakan akan terjadi akan semakin besar.
Daerah yang demikian bisa kita lihat pada peta
seismisitas merupakan daerah yang kosong dengan pusat gempa. Dengan seringnya
terjadi gempabumi khususnya pada segmen selatan Bali, dari teori akumulasi
energi sangat menguntungkan. Karena energi yang terkumpul dilepaskan secara
perlahan, waktu demi waktu yang menjadikan akumulasi energinya tidak mencapai
tinggi sekali.
Sehingga daerah Bali sebenarnya diuntungkan
dengan seringnya gempa yang terasakan masyarakat, yang menunjukkan daerah
senyap seismic telah menunjukkan aktifitasnya, dan melepas energi dengan
mencicil.
Bila memperhatikan kekuatan gempa yang terjadi
antara 2,5=<M=< 6,4 Skala Richter menunjukkan bahwa akibat penumpukan
energi di daerah pusat gempa telah terjadi retakan-retakan batuan kulit bumi.
Semakin banyak retakannya akan semakin sering melepas energi dengan energi yang
sangat variatif. Konversi energi ini kita kenal dalam informasi gempabumi
sebagai kekuatan atau magnitude gempa yang diberi satuan Skala Richter.
Demikian juga kedalaman gempabumi yang terjadi
terlihat bervariasi antara 25km =<h=<117 km menunjukkan bahwa akumulasi
energi terjadi tidak pada suatu volum batuan yang focus, tetapi terjadi pada
volum yang sangat luas, sehingga energi yang terakumulasi dapat dikatakan
tidaklah terpusat pada satu volum yang focus sehingga akumulasi yang tinggi
nergi gempa itu terhindari terjadi.
Kejadian ini memberikan indicator kepada kita
bahwa penumpukan energi terjadi secara menyebar sehingg gempabumi yang
dikhawatirkan para pakar dapat terjadi antara M = 7 – 8 SR semakin kecil
kemungkinan terjadinya.
CIRI GEMPA
MENENGAH
Mungkin banyak dari sidang pembaca yang
mempertanyakan kenapa gempa yang ke 2 di atas dapat mengguncangkan daerah yang
sangat luas, dari Lombok hingg Malang dan sepanjang pantai selatan Bali, sama
dengan pertanyaan beberapa teman penulis. Hal ini terjadi karena pusat gempa
dari gempa yang kedua relative lebih dalam, masuk kategori gempa dengan
kedalaman menengah. Getaran gelombang gempa yang biasa disebut dengan gelombang
seismic mempunyai sifat semakin dalam pusat kejadiannya, dia akan memiliki sifat
penetrasi yang lebih luas, dan energi gelombang badannya menjadi lebih besar
dibadingkan dengan gempa dangkal.
Ingat gempabumi yang terjadi di pantai utara
Inramayu dengan kedalaman lebih dari 600 km, walau kekuatannya seperti gempa
yang kedaua diatas, getarannya dirasakan dampai kota-kota : sepanjang pantura
Jawa, Batam, Singapura dan Kualalumpur di barat dan sampai dirasaraskan di
Denpasar dan Mataram di sebelah timur.
Gempa dengan kedalaman dalam memang mengguncang
dan dirasakan getarannya sampai jarak yang kauh, tapi tingkat pengrusakannya
kecil. Beda dengan gempa dangkal yang getarannya umumnya dirasakan di daerah
yang tidak begitu luas akan tetapi sifatnya sangat merusak.
Semakin banyak pertanyan dari masyarakat, dan
semakin banyaknya masyarakat melaporkan merasakan gempabumi (walau kekuatannya
kecil, seperti gempa 6 April 2017 ini, menunjukkan bahwa masyarakat, khususnya
masyarakat Bali mempunyai kesiap siagaan yang tinggi terhadap bencana
gempabumi. Ini perlu di jaga dan dipupuk selalu, karena kita hidup di daerah
yang rawan terhadap gempabumi.
Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa: gempabumi yang dirasakan sering terjadi oleh masyarakat
merupakan akhir dari periode senyap seismic. Seringnya gempa terjadi
mengindikasikan bahwa energi gempa di daerah ini di lepas perlahan, tidak
terfokus suatu tempat terlihat dari posisi pusat gempanya. Semuanya merupakan
kondisi yang menguntungkan ditinjau dari proses pelepasan energi gempabumi.
Penulis : Dosen pada Sekolah Tinggi
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika, Tangsel.
Telah dimuat di Bali Post, 17 April 2017, pada Opini hal.6
0 comments:
Posting Komentar